Beberapa bulan belakangan ini aku berhadapan dengan orang tidak bisa kukategorikan dalam "manusia macam apa". Tapi jika harus, akan kukategorikan ia ke dalam manusia yang "jiwanya sakit". Bukan dalam arti ia gila. Hanya saja ia tidak mampu menerima kehilangan yang ia sebabkan sendiri. Kemudian ia sibuk mencari orang untuk disalahkan untuk mengurangi luka hatinya. Sebab menanggung kehilangan orang yang paling dicintai karena perbuatan kita sendiri bukanlah penderitaan yang bisa ditanggung dengan mudah. Perlu keberanian dan kelapangan hati untuk menjalani itu. Sedangkan ia terlalu kerdil di kepalanya sendiri hingga lupa bahwa dunia tidak selebar isi kepalanya saja.
Ia menganggap cinta sebagai hutang budi yang harus dibayar. Pengorbanan harus berujung pada mendapatkan. Dan keinginannya harus berakhir pada terwujud. Hingga berubahlah cinta itu menjadi ambisi dan obsesi. Ketika mencintai dilakukan dengan cara yang salah, maka yang didapat tidak akan lebih dari "rasa sakit". Dan ia terlalu pengecut untuk menerima itu.
Ia kehilangan banyak hal demi memperjuangkan satu hal. Keluarga, teman, bahkan pekerjaan. Dan di ujung cerita, ia kehilangan hal yang ia perjuangkan juga. Ketika cinta dipandang sebagai hutang budi yang harus dibayar kembali, Kehilangan bukanlah hal terakhir yang ia inginkan.
Ia menolak untuk menerima bahwa ia telah kalah. Ia menolak untuk menerima bahwa ia telah salah. Ia menolak bahwa kehilangannya adalah hasil dari perbuatannya sendiri. Orang seperti inilah orang yang kukategorikan ke dalam orang yang jiwanya sakit. Orang yang lupa bahwa hati dan kepala harus digunakan dengan seimbang.
Sejak awal, ia datang datang bukan untuk mendengar kebenaran tapi pembenaran. Dan aku tidak mampu memberikan itu padanya. Sebab bagiku, cinta selalu mengarahkan manusia ke arah yang baik. Dan ketika aku mengatakan hal yang tidak sesuai dengan keinginannya, ia menemukan sesorang untuk di musuhi ketika keadaan menyakitinya. Ia menemukan seseorang untuk disalahkan ketika kehilangan mendatanginya.
Kupikir cinta tidak membutakannya. Kebodohannyalah yang membutakannya. Kupikir cinta tidak menyakitinya. Obsesi dan ambisinyalah yang menyakitinya.
Jadi, terima kasih karena datang pada saya dengan masalah yang tidak ada urusannya dengan saya. Terima kasih karena menyalahkan saya untuk kehilangan yang kamu sebabkan sendiri. Terima kasih membuat saya menertawakan kebodohanmu. Dan terima kasih telah menunjukan jati diri. Saya kehilangan satu lagi penghianat dalam hidup saya. Ini anugerah terindah.