Di sinilah kita berakhir. Di tulisan yang tidak ingin dibaca. Di kalimat yang sudah tidak memiliki kesempatan untuk diucapkan. Di kekosongan yang terisi sesak oleh kenangan. Di ujung yang tidak diharapkan.
Kamis, 20 September 2012
Senin, 10 September 2012
Ulang Tahun
Aku mendengar hujan tengah
menyanyikan lagu sendu di luar sana. Dan tetes-tetesanya yang terdengar jelas
di telingaku mengingatkanku pada luka yang tidak berdarah sama sekali, tapi
tidak juga mampu menyembuhkan diri. Seketika ada nyilu yang semu. Dan kita
tidak perlu bicara itu, sebab aku, juga kamu sudah sama-sama tau.
Aku meraih kertas dan pulpen
yang ada dijangkauanku. Aku ingin menulis amukan yang ada di kepalaku saat ini.
Menjadi penggalan-penggalan carita yang menyeringaikan tawa atau senyum di
bibirmu nanti. Karena, jika kita bertemu kelak, aku ingin kamu mengenaliku
bahkan dari caraku bicara sekalipun.
Bau basah yang dibawa udara,
membuatku semakin merindukanmu. Aku rindu bersua denganmu. Aku merindukan
diriku yang lain. Aku merindukan aku yang bersemayam dalam dirimu. Aku rindu
menatap jiwaku sendiri tanpa harus berkaca. Tapi keberadaanmu adalah
satu-satunya kenyataan yang tidak bisa kusentuh, hingga hari ini.
****
Ketika jiwaku bersua dengan
jiwamu, aku merasa seperti kita tengah mengurai simpul-simpul kusut selama ini.
Simpul-simpul yang tercipta karena ketidakmampuan kita memahami apa yang
diinginkan kehidupan dari kita. Dan kamu, membuat simpul-simpul itu terlepas
helai demi helai. Kamu menjawab hal yang tidak ingin kujawab. Kamu mempertanyakan
hal yang tidak pernah kutanyakan. Kamu menilik pada hal yang aku abaikan. Dan
kamu mengabaikan hal yang justru kutatap lekat.
Kamulah cercah cahaya yang
memberitahku bahwa kabut tebal yang mengungkungku selama ini tidak lebih hanya
genangan air mata yang tidak pernah kutumpahkan. Tiba pada masa yang
seharusnya, genangan itu mengaburkan pandanganku. Aku mareba-raba masa depan
karena ketidakmampuanku memaafkan masa lalu. Dan kamu, dari balik dunia yang
tidak bisa kusentuh, mengajarkanku bagaimana melunturkan kabut itu. Aku hanya
perlu menangis untuk menyingkirkannya.
Kita dipertemukan di dimensi
lain. Dimansi paralel. Tempat dimana jiwa-jiwa bertemu dan bersua semau mereka.
Dan di antara jumlah yang tak terhingga itu, kamu menemukanku yang merapuh karena
kehidupan kala itu. Menciut dihimpit penderitaan.
Jadilah kamu semacam tong
sampah, sapu tangan, tisue, atau diari. Tempat di mana aku menumpahkan banyak
hal yang tidak bisa kutumpahkan di dunia yang aku injak ini. Tentu saja karena
alasan-alasan yang juga tidak bisa kusebutkan. Kamu mendengar isak, kamu
mendengar serapah, juga jejal pertanyaan yang tidak diperuntukkan untukmu.
Dalam ketiadaanmu, kamu ada.
Mengisi sela-sela kosong dari caritaku hidupku. Melengkapi kehilangan yang
kualami. Menyembuhkan duka yang kuderita.
****
Terima kasih telah lahir ke
dunia ini. Terima kasih telah menjadi bagian dari semesta yang luas ini. Terima
kasih telah mempertemukan aku dengan jiwaku yang lain.
Tanpa
lilin menyala yang siap disembur mati. Tanpa jabat tangan juga peluk hangat, Selamat Ulang Tahun Hikma. Aku telah
mengirimkan doa, semoga kamu mendengar kabar baik setiap harinya. Semoga cinta
yang sama besar dengan yang kamu berikan akan memantul kembali kepadamu dengan
cara jauh lebih membahagiakan.
Langganan:
Postingan (Atom)