Sabtu, 24 September 2011


*Ketika Tuhan menutup pintu, Ia akan membuka jendela untukmu...

Suatu saat nanti, aku akan membunuhmu. hingga tidak akan ada lagi terikkanmu yang tertangkap telingaku. kamu tidak perlu lagi bercerita tentang kesedihan atau kebencian dari balik pintu yang sudah sepakat kami kunci, karena aku akan berusaha mendengar kebahagian dari balik jendela yang belum terbuka.

Aku akan mengubahmu menjadi remah, halus dan mengering seiring hari berganti. gugur satu-satu tanpa sisa. kemudian akan dilesap habis dari labirin pikiranku oleh badai sedahsyat tornado. dan aku akan menjadi manusia yang merdeka. tidak lagi diperbudak oleh kesedihan yang tak tertakar.


(untuk kenangan yang masih belum bisa saya lepaskan)

Senin, 19 September 2011

Tahun Pertama

Dear Namoraku...!

Saya mendadak bingung harus menulis apa. Yang pastinya, hari ini adalah hari ke 365 yang harus saya lewati tanpa kamu. Sungguh bukan waktu yang singkat, mengingat betapa sulitnya saya untuk bertahan melewati satu hari ke hari lainnya.

Hari ini, saya ingin menceritakan sebuah dongeng padamu. Dongeng tentang putri duyung yang jatuh cinta pada seorang manusia. Ia bahkan rela menukar suaranya yang cantik dengan sepasang kaki agar ia bisa berjalan menghampiri manusia tersebut. Untuk beberapa waktu, ia tidak menyadari bahwa ia telah menjadi orang lain hanya untuk orang lain. Bahkan, pengorbanannya yang besar harus menghasilkan kekecewaan yang sama besarnya ketika pada akhirnya ia mengetahui bahwa meraka tidak mungkin bersama.

Tapi putri duyung tidak menyesali apa yang telah ia lakukan. Karena baginya, setiap momen yang ia alami baik tawa maupun tangis adalah anugrah. Putri duyung juga menyadari bahwa setiap pilihan memiliki konsekuensinya tersendiri. Terkadang, kita hanya siap menerima konsekuensi positif dari pilihan kita dan menyalahkan orang lain ketika yang kita terima berlawanan dari keinginan.

"Karena kita tidak bisa bersama dengan alasan "kita beda", maka biarkan aku tetap di sisimu secara diam-diam, seperti aku tidak pernah ada di sampingmu. Biarkan aku tetap mencintaimu. Biarkan aku menghargai perasaanku sendiri. Karena aku lebih memilih menerima rasa "kecewa" dari pada rasa "sesal". Dan ketika waktunya tiba, aku akan menghilang dari hidupmu seperti gelembung. Tanpa bekas." Itulah yang dikatakan putri duyung pada manusia.

Begitu juga dengan kita, karena kita tidak lagi bisa berjalan seiring, karena kamu tidak lagi bisa mengisi celah-celah di jari saya, maka biarkan saya stagna pada satu momen. Satu momen dimana kamu utuh menjadi milik saya. Tapi jangan pernah meminta saya untuk mundur atau melangkah maju sendiri. Saya masih tidak siap. Biarkan saya tetap mencintai kamu dengan "cara" saya sendiri. Dan ketika waktunya tiba, saya akan menjadi gelembung seperti putri duyung. Karena itulah takdir untuk kamu dan saya.

*no need to say goodbye Fransiskus Budang

Selasa, 13 September 2011

Ngepet HaPe

tadi malam, hape saya lenyap di kepet copet. dan refleks saja, saya nangis di antara ribuan calon penumpang kapal bukit raya (kedengaran sedikit tidak tau malu). tapi saya punya alasan tepat mengapa saya menangis. bukan tentang hapenya. tapi tentang apa yang termuat di dalamnya. saya masih mampu membeli hape setipe atau bahkan lebih bagus dari itu, tapi saya yakin tidak ada satupun konter di dunia ini yang menjual "kenangan".

benar kata indra herlambang, "itu bukan barang, tapi kenangan". ada cerita dari setiap goresan yang ada di sana. entah telah berapa banyak peristiwa yang ia simpan selama lebih dari 1000 hari yang saya lewati bersamanya. dan hape tipe manapun tidak akan mampu mengganti rasa kehilangan saya. apa lagi ibu saya berniat menggantinya hanya dengan hape yang ada senternya tu. makin tak terbendung rasanya air mata saya.

*kembali ke cerita tadi malam.
saya berdiri di antara 4000 calon penumpang kapal bukit raya, desak-desakan, dorong-dorongan demi menjemput ibu saya yang datang dari kampung halaman. saya benar-benar tidak bisa merincikan peristiwanya, tapi yang pasti saya masih bisa merasakan bagaimana rasanya saat tu copet narik hape saya dari saku celana. saya banar-benar merasakannya karena waktu itu, saya sedang menelpon sepupu saya yang sedang di kapal bersama ibu saya. polisi juga berdiri tidak jauh dari TKP. hanya karena saya berdiri di antara lautan manusia yang bahkan tidak memberi saya ruang untuk bernafas, jadi saya benar-benar tidak bisa memutuskan wajah mana yang telah ngepet hape saya.

datik itu, yang saya inginkan hanya lah satu, waktu berhenti seketika sehingga saya bisa menggeledah satu per satu saku celana mereka. tapi siapa yang bisa menghentikan pergerakan ribuan manusia seperti itu. dan akhirnya, menangis akan menjadi jalan terakhir bagi saya untuk melampiaskan segalnya.