Minggu, 29 Juni 2014

Sudah berakhirkah?

Sudah selesaikah?

Sudah benar-benar selesaikah kemelut perasaan yang saya alami lebih dari 8 tahun belakangan ini? Menangis dan tertawa untuk hal yang sama. Jatuh dan bangun untuk orang yang sama. Berkelut dalam masalah yang sama. Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat. Jika diibaratkan dengan usia manusia, masalah saya sudah duduk di bangku kelas 2 SD. Mungkin sudah bisa ikut lomba menyanyi, lomba lari, lomba menggambar, atau lomba tinju. Tapi karena itu usai masalah, satu-satunya hal yang didapat hanyalah secuil kebahagian yang tidak sebanding dengan penderitaan yang dialami.

Saya selalu takut bahwa kisah cinta saya berakhir di kalkulator. Setelah berpisah mulailah kita saling menghitung berapa banyak kebaikan yang diberikan dan berapa banyak keburukan yang diterima? Berapa banyak kerugian materi yang dialami? Dan siapa yang paling sering dirugikan? Saya selalu takut akan hal itu. Dan beberpa tahun setelah berpisah, ketakutan saya pada akhirnya jadi kenyataan. Saya mulai menimbang-nimbang siapa yang paling dirugikan dari memperjuangkan hubungan yang tidak memiliki masa depan itu. Dan setelah dihitung-hitung, skornya mungkin, ini hanya mungkin 0-belasan. Atau 0-puluhan. Saya tidak lagi ingat berapa banyak kamu menghianati saya. Berapa banyak kamu menyakiti saya. Berapa banyak saya menangis untukmu.

Dan setelah mengalami letih yang teramat sangat, beberapa bulan yang lalu saya pada akhirnya berhenti mengalah. Saya tidak lagi mampu mengalah ketika kamu terus mendorong saya untuk menyakitimu. Akhirnya, skornya pun berubah. 1-sekian. Biarkan kamu menyimpan 1 perbuatan buruk saya untuk dikenang di kala waktu kosongmu. Agar kamu merasakan sepersekian rasa sakit yang aku alami karena mengingat segala perbuatan burukmu.

Sudah berakhirkah? Saya harap jawabannya "IYA".

Kamis, 26 Juni 2014

Bacalah Terlebih Dulu

Hari ini saya hanya ingin berbagi kebodohan. Sedikit kebodohan. Sebenarnya, ceritanya agak panjang. Sebab, sebuah kisah tidak semerta-merta berawal begitu saja. Ada kisah sebelumnya yang mendasari terjadinya kisah itu. Tapi kerena ini mungkin akan menjadi kisah panjang yang membosankan, maka akan saya singkat menjadi secukupnya saja.

 Saya terlahir di keluarga yang dipenuhi dengan perempuan. Saya memiliki 3 kakak perempuan yang memiliki perbedaan usia yang lumayan jauh dari saya. Jadi, ketika mereka sudah mulai bernajak dewasa, saya masih menjadi anak-anak yang menyebalkan. Mereka mengurusi semua urusan rumah bersama Ibu dan nenek. Saya tidak kebagian mengurusi apapun selian mengurusi diri saya sendiri. Akibatnya, saya besar tanpa tahu apa-apa. Bahkan, celana dalam saya saja masih dicucikan oleh ibu saya ketika saya sudah duduk di bangku SMP. Ketika masih kecil, kesalahan-kesalahan yang saya lakukan karena ketidaktahuan saya tentang urusan perempuan (rumah tangga) itu masih terdengar lucu. Namun, bertambah dewasa, bertambah kuranglah kadar kelucuan itu.

Beberapa tahun yang silam, saya pernah memasak osengan kacang panjang yang berakhir jadi makanan ayam kerena tidak ada satu pun orang di rumah yang bersedia memakannya.  Osengan itu terasa seperti kolak kacang panjang. Terlalu manis. Dan beberapa tahun sebelumnya juga, saya pernah menggoreng pisang atas permintaan ayah saya. Yang terjadi adalah pisangnya gosong dan tangan sayalah yang matang kerena tercebur dalam minyak panas. Kemudian dengan santainya nenek saya (alm) berkata, "Tidak apa-apa. Masih kecil kok." Saya tidak tahu dari sudut pandang mana dia melihat sehingga anak berusia 23 tahun masih terlihat seperti anak kecil di matanya. Lalu, saya gunakan kalimat itu untuk memaafkan kekurangan saya. Memandang hal-hal luar biasa seperti itu terlihat seperti biasa.

Dan beberapa hari yang lalu, ayah saya meminta saya untuk membuatkanya secangkir kopi. Karena ketidaktahuan saya di masa lalu yang masih berefek hingga sekarang, saya pada akhirnya juga tidak tahu bagaimana cara membuat secangkir kopi. Saya tidak tahu berapa banyak kopi yang harus saya masukan untuk segelas kopi. Berapa banyak krim yang harus saya tambahkan untuk menikmatkan secangkir kopi. Berapa banyak gula yang harus saya campurkan untuk memaniskan secangkir kopi. Dengan resep menebak-nebak, jadilah secangkir kopi yang semut saja tidak bersedia mati di dalamnya karena terlalu pahit. Saya menyeduhkan dua sendok makan kopi dalam secangkir air hangat yang seharusnya hanya berisi satu sendok teh kopi. Jadi, banyangkan betapa pahitnya kopi itu. Dan parahnya lagi, saya baru tahu tentang kesalahan itu justru setelah kopinya jadi dikarenakan saya lupa bahwa selalu ada petunjuk penyajian dalam setiap kemasan makanan.

Ketika esok pagi tiba dan saya mencoba untuk menyeduh gelas kedua kopi untuk ayah saya, saya memasukan satu sendoh teh kopi sesuai petunjuk. Namun, masalah tidak selesai sampai di sana. Karena pada kemasan "krim kopi" hanya dituliskan "tembahkan krim secukupnya". Mereka seharusnya tidak melakukan itu. Karena untuk orang-orang seperti saya, "secukupnya" bukanlah petunjuka yang bisa diikuti dengan mudah karena saya tidak tahu "seckupnya" yang mereka maksudkan itu seperti apa. Jadilah kopi kedua saya seperti susu kopi, bukan kopi susu.

Saya tahu ini cerita memalukan. Karena tidak sewajarnya perempuan berusia 26 tahun bahkan tidak mampu membuat secangkir kopi dengan benar. Tapi, saya merasa saya perlu membaginya. Lalu, siapakah yang harus disalahkan? Saya atau orang-orang yang membuat saya tumbuh menjadi perempuan yang kekurangan sisi keperempuanannya?

Jadi, saran saya untuk orang-orang yang kekurangan pengetahuan seperti saya, bacalah dulu segala petunjuk penyajian agar mengurangi kadar kebodohan Anda. Dan untuk semua pabrik pemroduksi makanan atau menuman, tolong buatlah petunjuk penyajian yang jelas. Agar orang-orang seperti saya tidak lagi tercebur dalam kebodohan yang sama. Sekian dan terima kasih.

Sabtu, 21 Juni 2014

Saya tidak paham, kenapa tetiba saja ada sepi yang mengendap di hati saya pagi ini. Muncul begitu saja di antara hangat matahari yang baru saja mengendap dan sisa dingin tadi malam.

Tentu saja karena kamu. Dan akan selalau karena kamu. Kesadaran bahwa tidak ada lagi yang tersisa dari kita membuat saya merasa bahwa sudah tidak ada lagi yang terisa dari saya. Perpisahan kita telah menghancurkan segalanya. Tinggalah saya dengan setumpuk ingatan tanpa tanggal kadaluarsa. Seperti orang bebal yang paham sudah saatnya ia pergi tapi menolak melakukan itu. Dan ingatan saya menolak melakukan itu. Ia menolak menyingkirkan kamu bahkan untuk satu hari saja.

Saya hanya tidak paham, kenapa saya harus melakukan itu. Bukankah yang tersisa dari ingatan seperti itu hanyalah duka. Lalu mengapa saya tidak bersedia melepaskannnya. Membiarkan mereka mengendap di alam bawah sadar saya. Kemudian terlupakan. Mungkin hidup saya akan lebih baik jika begitu. Tapi ingatan memilih kehidupan mereka sendiri. Dan mereka jugalah yang memilih bagaimana mereka akan mati dan lenyap dari kepala seseorang.

Minggu, 15 Juni 2014

Pacar dan Krim Wajah

Memilih pacar itu sama seperti milih krim wajah. Ketika sudah muncul jerawat sebagai efek yang tidak diharapkan, itu pertanda bagi kita untuk mempersiapkan diri untuk memilih krim wajah lain. Hanya "mempersiapkan diri" saja. Sebab, kalau langsung mengganti krimnya, ini akan terdengar tidak adil. Sebab, segala sesuatu butuh waktu. Waktu bagi kulitmu untuk menyesuaikan diri. Waktu bagi krim wajah itu untuk memahami kulitmu dan bekerja sesuai harapan yang dijanjikan. Tapi, jika telah beberapa saat berlalu dan masih tidak menunjukan penyesuaikan diri, tidak menunjukan perubahan, tidak menunjukan perbaikan, itulah waktu yang tepat untuk beralih ke krim wajah yang lainnya.

Jika kita terus memaksakan diri memakai krim wajah tersebut dengan alasan "sudah terlanjur dibeli" meski tidak ada perbaikan pada wajah, kita sudah salah arah. Kita sudah menyimpang dari tujuan awal, yakni punya wajah mulus dan bersih.

Begitu juga dengan pacar. Ketika kita memilih sesorang untuk dipacari atau memacari kita, berilah ia waktu untuk memahami kita. Berilah diri kita sendiri waktu untuk memahaminya. Dan jika, dikemudian hari kita menyadari bahwa pilihan itu tidak membawa kita ke arah perbaikan, tidak membawa kita ke tujuan yang ingin dicapai, yakni "bahagia" maka pergilah.

Jangan bertahan terlalu lama dengan alasan cinta. Jika kita memutuskan untuk bertahan mencintai sesorang dengan alasan cinta, padahal pada kenyataannya hubungan itu tidak mengarah ke perbaikan sama sekali, kita sudah jauh menyimpang dari tujuan awal. Kita mengikat diri dengan orang lain, mencintai dan dicintai dengan keinginan untuk bahagia. Lalu, untuk apa bertahan atau mempertahankan atau dipertahankan jika sebenarnya tidak ada kebahagian di sana.

Rengkuhlan keberanian kita untuk menderita kehilangan. Peluklah keberanian kita untuk sendiri dan kesepian. Karena itu jauh lebih baik ketimbang menyakiti atau disakiti. Pergilah dengan anggapan bahwa dia tidak cocok dengan kita. Bukan karena dia tidak baik atau kita yang tidak baik. Jika kita pergi dengan pemikiran seperti itu, kita telah berlaku tidak adil padanya atau pada diri kita sendiri. Kita meletakkan kesalahan hanya pada satu pihak saja. Padahal, untuk mengikat diri, dibutuhkan kesepakatan kedua belah pihak. Dan jika kesepakatan itu menyakiti, efek sampingnya juga harus ditanggung oleh kedua belah pihak.

Berdamailah dengan perasaan takut kehilangan. Berdamailah dengan krim wajah yang tidak cocok dengan kita.

Sabtu, 14 Juni 2014

Cinta Adalah Perkara

Mencintai tidak pernah menjadi perkara mudah ketika orang yang kita cintai tidak pernah merasa cukup hanya dengan kehadiran kita saja. Tidak pernah merasa lengkap hanya dengan memiliki kita saja.  Pada saat seperti itulah, kita akan diminta untuk memahami lebih, mengalah sebanyak mungkin, bersabar sepanjang waktu. Jika tidak begitu, kehilangan akan menjadi satu-satunya pilihan. Dan ketakutan untuk kehilangan menyebabakan cinta menjadi perkara yang kian rumit karena kita akan bersedia menerima penderitaan macam apa saja. Padahal, yang dibutuhkan untuk barhenti sengsara hanyalah satu, keberanian untuk sendiri.


 

Frans Budang

Kamu ingin bahagia. Dan aku ingin kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Itu saja. Jadi, kali ini kubiarkan kamu menyalahkanku jika memang itu bisa menyelamatkan hubunganmu dengan dia. Aku maafkan kamu.

Beauty and The Beast

Sedang demam [parah] series "Beauty and The Beast". Udah nonton berkali-kali pun tetap ingin nonton lagi. Hal yang paling saya suka dari cerita ini adalah bagaimana si Beast berhenti berusaha untuk menjadi lebih baik dan menerima kekurangannya sebagaia bagian dari dirinya. Dan si Beauty menerima kekuranganya itu sebagai bagian dari mencintai. Sebab cinta tidak melulu masalah "lebih", tapi masalah menerima. Dan penerimaan adalah langkah pertama yang harus diambil untuk bahagia dalam hidup yg tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.


Cinta tidak akan membuat kita menuntut orang yg kita cintai menjadi cermin bagi keinginan kita.


Begitulah seharusnya cinta. Membuat kita menerima diri kita sendiri dan menerima dia apa adanya.
Begitulah seharusnya cinta. Membuat dia menerima dirinya sendiri dan kita apa adanya.


Meski ketidaksempuarnaan nampak bahkan dengan mata tertutup, tapi cinta mampu membuat kita menemukan sisi yang membuat kita tetap saling menerima tanpa harus menjadi sempurna. Sebab cinta adalah penerimaan. Bahkan penerimaan terhadap penderitaan sekalipun. Dan cinta pada akhirnya menjadi satu-satunya alasan untuk saling memperjuangkan.

Aku bersedia memeluk penderitaan dengan suka rela hanya untuk mengalami cinta seperti itu. Cinta yang membuat aku diterima dan menerima tanpa syarat. Menerima dia dan diriku sendiri sebagai ketidaksempurnaan yang tidak perlu disempurnakan hanya untuk bahagia.


Rabu, 11 Juni 2014

Keracunan Rindu

"Aku keracunan," kataku padamu lewat pesan singkat yang kukirim pada suatu malam dengan rindu yang membucah. Rindu yang menyesak hingga mengganggu proses pernafasan. Rindu yang membawa nyilu yang semu. Kala itu, gerimis sedang turun selembut embun di luar. Dan aku tidak lagi sanggup untuk menolak merindukanmu. Kemudian, beberapa menit berikutnya, kamu menelpon. Dengan suara penuh khawatir, kamu bertanya. "Kamu baik-baik saja?" "Kok bisa?" "Karacunan apa?"


"Keracunan rindu", kataku setelah rentetan pertanyaanmu selesai. Setelah kamu terdiam dan hanya nafas khawatirmu yang memburu memenuhi rongga telingaku.


"Kimput", katamu sebagai balasan. "Aku mengkhawatirkanmu setengah mati dan kamu masih sempat-sempatnya main-main."


Detik berikutnya, kita tertawa terbahak-bahak. Bukan menertawakan leluconku, melainkan menertawakan kesadaran kita. Kesadaran bahwa kita masih sama-sama tahu bahwa cinta kita belum terbunuh. Bahwa perpisahan tidak menjadi jalan buntu yang harus membuat kita berpaling dan saling melupakan.


Bukankah hidup terlihat lucu? Kita sama-sama mengetahui bahwa kita saling mencintai. Bahwa kita masih mencintai. Bahwa kita belum mampu saling melepaskan. Tapi kita justru memilih perpisahan lantaran terbentur pada perbedaan. Lalu, untuk apa cinta jika tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyatukan? Untuk menguatkan? Aku tidak pernah memahami masalah ini. Mungkin tidak akan sanggup memahaminya, selamanya.


Tapi, untuk menghormati kebahagian dan penderitaan yang pernah kita alami untuk merasakan mencintai dan dicintai, aku menganggap bahwa kita adalah pertemuan yang ditakdirkan untuk sebatas menjadi kenangan.



Untuk: Fransiskus Budang

Senin, 02 Juni 2014

Ingatlah

Kamu selalu punya pilihan.

Ingat itu.

Ketika kamu memilih untuk menyelamatkan dirimu dengan menyakiti orang lain, ingatlah bahwa sekecil apapun pilihan tetap akan memiliki konsekuensi.

Dan ketika konsekuensi itu datang, ingatlah bahwa aku telah memperingatkanmu akan hal ini.

Dan ketika kamu benar-benar mengingat hal ini, ingatlah bahwa semua ini sudah berlalu. Dan tidak ada jalan bagimu untuk kembali.

Ingatlah bahwa dulu kita adalah manusia yang mengikat diri dengan cara yang baik dan tujuan yang baik pula. Tapi ketika keadaan menyakiti kita, tak lantas kita perlu menyakiti satu sama lain hanya untuk mempertahankan diri. Kita adalah cinta. Dan cinta tidak menyakiti tapi membebaskan.


Aku mencintaimu, selalu Fransiskus Budang!

Minggu, 01 Juni 2014

Retak, Kemudian Pecah

Di sinilah kita berakhir. Di tulisan-tulisan yang tidak ingin dibaca. Di kalimat-kalimat yang sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk diucapkan. Di kekosongan yang terjejal sesak oleh kenangan menyakitkan. Di ujung yang tidak pernah diharapkan. Kemarahan. Kebencian. Penderitaan.

Aku sudah memberimu alasan untuk membenciku. Gunakanlah itu untuk bertahan hidup. Gunakanlah itu untuk tidak kembali tercebur dalam penderitaan yang sama. Gunakanlah itu untuk menguatkanmu untuk tetap menjaga jarak agar kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk saling menyakiti.

Aku bukan terlalu ego untuk meminta maaf, tapi aku hanya membiarkan itu menjadi alasanmu untuk membenciku. Karena, jika kamu tidak memiliki sesorang untuk dibenci, kamu mungkin akan berakhir membenci dirimu sendiri. Dan aku tidak ingin itu.

Terima saja bahwa kita adalah kaca yang telah lama retak. Namun dipaksakan untuk terus dipakai. Dan akhirnya, pecah. Selesai dengan cara yang tidak diinginkan dan tidak lagi bisa diperbaiki. Semoga inilah akhir dari segalanya.

Frans Budang