Rabu, 03 November 2010

pemetaan privasi


Hari ini ada gempa susulan yang datang setelah gempa-gempa yang sebelumnya juga menggempakan hati saya. Efeknya berjangkit-jangki seperti penyakit. Dari sahabat yang satu merambat ke sahabat yang satu lagi. Mungkin juga nanti akan menggait sahabat saya yang lainnya lagi.

Kemarin, salah seorang sahabat saya mengklaim bahwa dia berhak atas privasi saya. Dia dan beberapa sahabatnya yang tidak pernah menjadi sahabat saya menjadikan privasi saya sebagai bahan perbincangan yang terdengar begitu layak di halaman kampus kami tercinta. Mungkin itu terjadi di luar kendali. Karena kita mempunyai takaran yang tidak pasti untuk kata “layak” itu.

Andai batas privasi seperti batas wilayah, mungkin saya akan memetakannya agar kalian tahu apa yang menurut saya layak untuk dijadikan bahan pembicaraan kalian di halaman kampus dan apa yang hanya layak dibicarakan seorang sahabat di kamar dengan suara setengah berbisik. Tapi urusan privasi tidak sama dengan urusan wilayah. Batasan pantas dan tidak pantasnya ditakar oleh masing-masing individu dengan takaran masing-masing pula. Yang pada akhirnya membuat kita tidak berada pada satu titik temu.

Ketika memutuskan datang sebagai sahabat saya, maka utuhkanlah dirimu sebagai sahabat saya. Bukan sahabat dari sahabat kamu yang lainnya. Ceritakanlah apa yang menurut kamu layak untuk saya tahu dan beritahulah apa yang memang ingin saya tahu. Jika masih terbagi, lebih baik kembali dan jangan berusaha menyusup dalam privasi saya. Dan kamu memutuskan untuk kembali sebagai sahabat dari sahabat kamu yang lain. Membiarkan otak saya mengkonstruksikan cerita kamu yang hanya sebagian dengan cara saya sendiri. Dengan kondisi setengah memaksa saya meminta diberi tahu, tapi kamu bersikukuh membiarkan saya menyelesaikan sendiri ceritanya. Kamu berkata, “silahkan”.

Ketika hasil konstruksi saya mengakibatkan beberapa orang merasa dikorbankan, kamu datang dengan niat mengklarifikasi. Namun menempatkan saya sebagai pihak yang bersalah dan kamu pahlawan untuk saya dan untuk sahabat-sahabat kamu yang lainnya. Kamu ingin menyabet dua penghargaan sekaligus. Tapi pernahkan kamu tahu, bahwa ada kalanya kata “terlambat” itu benar adanya.

Ketika keadaan semakin buram, saya memilih untuk diam. Diam untuk banyak hal. Ketika diam juga menjadi sebuah pilihan yang salah bagi kalian, coba beri saya solusi lain yang tidak hanya membuat kalian merasa baik. Tapi juga saya. Saya tidak mungkin memberi makan orang yang kelaparan sedang saya juga hampir sekarat kerana kelaparan. Saya tidak mungkin menutupi lobang yang ada di hati kalian jika hati saya juga punya lobang menganga. Karena saya juga membutuhkan jarak yang bisa saya pakai untuk menata kembali apa yang sedang berantakan sekarang. Jadi, tolong jangan meletakkan tanggung jawab untuk menjaga hati semua orang di bahu saya. Saya sama rentanya dengan kalian.

Dan hari ini, gempa susulan itu datang. Gempa yang mengiringi gempa-gempa lainnya yang juga menggempakan hati saya. Gempa itu datang dari sahabat saya yang lainnya lagi. Dia muncul dengan niat untuk manjadi penengah. Penengah perselisihan yang terjadi karena kesalahan memetakan batasan privasi. Jika ingin menjadi penengah, maka pastikanlah kamu benar-benar berada di tengah-tengah. Jika pada akhirnya kamu memutuskan untuk menepi, maka carilah tepi yang tidak menempatkan kamu pada posisi memihak.

Namun, kata tengah yang sahabat saya sandang ketika dia datang juga tidak memberikan penengahan bagi kami. Mungkin salah saya yang sudah terlanjur tidak peduli hingga Dia juga memutuskan untuk menepi. Menepi di posisi yang berlawanan dengan saya. Saya mengantar kepergiannya dengan air mata diam saya. Bukan tidak ingin mencegah kepergiannya, tapi mungkin jarak akan membuat kami sama-sama berintrospeksi diri. Karena celah akan dibutuhkan jika kita terlalu padat. Jarak juga dibutuhkan ketika kita mulai merasa di giring. Bukankah tujuan utama kita membina persahabatan ini bukan untuk menggiring atau digiring tapi untuk berjalan beriring.

Tanpa mereka sadari, mereka meletakkan saya pada posisi yang paling berhak untuk disalahi. Tidak lain alasan yang dipakai, "saya tidak mengerti, saya tidak menghargai, saya egois, saya kurang toleransi." Mungkin benar begitu adanya. Tapi mereka lupa bahwa begitu jelas perbedaan antara "pertanyaan dan pernyataan". pertanyaan membutuhkan jawaban, sedangkan pernyataan memberi jawaban.

Saya berharap tulisan ini bisa menjadi dinding bagi persahabatan lain dari virus privasi. Karena kadang mereka datang dengan tameng kasih sayang sehingga begitu sulit untuk dideteksi. Kemudian menginveksi.

Selasa, 02 November 2010

saya memberinya nama "cara"


Kemarin, mendadak saya merasa menjadi manusia yang paling membutuhkan sinyal hape. Ada rongrongan di hati saya yang meminta untuk dipuaskan. Saya mencoba mengangkat-ngangkat hape setinggi yang saya mampu. Bahkan sedikit berjingkat-jingkat. Berharap sebalok sinyal terdampar di layar hape saya.

Ketika sinyal tidak kunjung bertamu, ada sesal yang diam-diam menyelinap di hati saya. Seharusnya saya membungkus tawamu dalam plastik transparan kemarin. jadi, saya bisa menempelkannya di daun telinga saya jika saya sedang rindu akut seperti sekarangi ini. Agar saya tidak perlu mengusik ketenanganmu hanya untuk kesenangan saya sendiri.

Telpon tersambung setelah saya mencoba berkali-kali menekan tombol panggil dengan sinyal sekarat yang saya dapat setelah memijakkan kaki ke lantai dua rumah warga yang saya tumpangi. Namun, kamu sepi. Tidak ada jawaban. Kemudian saya memutuskan untuk menangis. Mungkin memang saya harus menangis agar rongrongan ini mencair. Bahkan memang saya harus menangis agar rindu ini tidak menjadi salju yang kemudian menjadikan hati saya beku.

Saya jadi ingat, minggu lalu kamu menghabiskan waktu selama dua jam untuk memadati telinga saya dengan kalimat-kalimat yang tidak tau mau saya apakan. Butuh waktu dua jam juga setelah telpon terputus untuk saya memilah dan memilih kalimat-kalimat kamu. Ada yang bisa saya simpan dalam rak nasehat. Ada juga yang bisa saya masukkan dalam rak vonis. Ada yang saya buang ke tong sampah. Namun ada yang tanpa kategori.

“Saya benci air mata. Saya muak mendengar kamu menangis”.

Itu kalimat yang saya tidak tau mau dikategorikan apa di rak perasaan saya. Mungkin kamu ingin saya membeli topeng untuk menutupi sendu saya dari banyak mata. Memang itu menyelesaikan sebuah masalah, tapi saya akan mendapat masalah baru. Saya harus menyiapkan medan yang luas untuk tempat saya berperang dengan perasaan saya sendiri. Saya memang akan kelihatan baik di luar, tapi saya menabung buruk itu di dalam.

Dan yang juga tidak bisa saya abaikan begitu saja adalah vonismu. Kamu bilang saya sengaja menenggelamkan diri saya dalam keberantakan. Membiarkan hidup saya teracak-acak seperti pazel yang berserak. Kamu seolah-olah tidak tau sebarapa dalam kamu menenggelamkan saya dalam kesedihan ketika kamu memutuskan untuk berpisah tanpa bertanya akan jadi apa saya tanpa kamu. Tidak mudah menerima sebuah berpisahan meski pertemuan dan perpisahan adalah kembar siam yang tidak mungkin di pisahkan. Saya merasa seperti dipaksa untuk mengubah segalanya secara tiba-tiba.

Dan malam ini, saya di sini. Menepi di desa di pinggir kota khatulistiwa ini. Bersama rombongan kecil yang sibuk menenteng buku kecil. Menghimpun data untuk future mereka. Saya juga melakukan hal yang sama. Menghabiskan malam minggu saya dengan hal baru yang membuat saya sibuk dan berharap saya tidak sempat memikirkan kamu. Saya ingin kamu juga tahu bahwa saya telah berusaha. Bahkan sangat berusaha untuk membuat semuanya kembali membaik. Tapi sejauh ini, saya selalu bersetubuh dengan kata “percuma”.

Karena baik dalam takaran kamu dan saya berbeda. Kamu selalu mengartikan baik itu adalah mengembalikan keadaan semula. Seperti sebelum terjadinya perpisahan. Sedangkan saya, baik bagi saya adalah ketika saya bisa menikmati setiap tawa juga isak tangis yang ada. Setiap rindu yang selalu mengajak saya bercengkrama dengan masa lalu yang pada akhirnya akan mendamparkan saya dalam berjam-jam kesedihan. Beruntung jika saya tertidur karena letih menangis. Jika tidak, maka saya akan terjaga hingga dini hari. Merasakan perih yang tak terhingga di hati saya. Perih yang menggumpal dan memadati hati saya hingga terjejal sesak.

****

Mereka bilang untuk memulai hal baru, saya harus melupakan hal lama. Saya menolak untuk mengatakan setuju. Saya merasa saya tidak perlu melupakan kamu hanya untuk terus melangkah maju. Kerena saya akan melewatkan waktu yang percuma jika saya memaksa untuk melakukan itu. saya yang tau seberapa kokoh kamu mendekam di ingatan saya.

Saya tidak membutuhkan obat yang instan. Saya hanya perlu berdamai dengan dengan keadaan. Dengan perasaan saya sendiri. Dan untuk berdamai dengan keadaan juga perasaan, hal pertama yang harus saya lakukan adalah menyuntikkan rasa ikhlas dalam dosis yang tinggi ke hati saya. Tapi dosis tinggi yang diberikan secara sekaligus akan merusak saraf saya. Saya khawatir akan kelebihan dosis. Jadi, biarkan saya melakukannya pelan-pelan.

Kamu boleh membuat keputusan sepihak untuk ke luar dari hidup saya. Terserah juga kamu ingin memakai alasan apa untuk pergi. Karena kita beda, karena kamu capek atau karena ada ranting baru yang bisa kamu singgahi tanpa harus terbebani dengan caci maki. Tapi kamu tidak bisa sepihak mengatur hati saya. Menyamakan urusan kenangan dan kebiasaan dengan urusan file-file yang tersimpan di memori hape. Ketika keberadaan mereka mulai mengganggu, kita tinggal tekan tombol delete. Selesai. Tidak sesederhana itu.

Saya telah menyerahkan semuanya pada perputaran waktu. Berkiblat pada pepatah klasik yang menurut saya ampuh. “Waktu akan membuat semuanya membaik.” Selebar apapun luka, waktu akan selalu mampu menjadi benang perekat untuk kembali membuatnya tertutup meski tidak sempurna.

Dan tentang keberadaan saya di sini, di desa kecil yang terpencil, kamu boleh memberinya lebel apa saja. Jika ingin menyamakan dengan pendapat mereka juga tidak apa-apa. Silahkan berpendapat saya lari, saya menghindar, saya takut melihat kenyataan. Tapi saya memberinya nama “cara”. Ini hanya cara.

Silahkan kamu menyalahkan cara yang saya gunakan untuk mencari ketenangan. Saya juga akan mempersilahkan jika kamu ingin memvonis saya dengan kata apa saja. Silahkan saja. Sarena cukup saya saja yang tahu usaha saya untuk memperbaiki keadaan setelah kepergiaan kamu.