Hari ini ada gempa susulan yang datang setelah gempa-gempa yang sebelumnya juga menggempakan hati saya. Efeknya berjangkit-jangki seperti penyakit. Dari sahabat yang satu merambat ke sahabat yang satu lagi. Mungkin juga nanti akan menggait sahabat saya yang lainnya lagi.
Kemarin, salah seorang sahabat saya mengklaim bahwa dia berhak atas privasi saya. Dia dan beberapa sahabatnya yang tidak pernah menjadi sahabat saya menjadikan privasi saya sebagai bahan perbincangan yang terdengar begitu layak di halaman kampus kami tercinta. Mungkin itu terjadi di luar kendali. Karena kita mempunyai takaran yang tidak pasti untuk kata “layak” itu.
Andai batas privasi seperti batas wilayah, mungkin saya akan memetakannya agar kalian tahu apa yang menurut saya layak untuk dijadikan bahan pembicaraan kalian di halaman kampus dan apa yang hanya layak dibicarakan seorang sahabat di kamar dengan suara setengah berbisik. Tapi urusan privasi tidak sama dengan urusan wilayah. Batasan pantas dan tidak pantasnya ditakar oleh masing-masing individu dengan takaran masing-masing pula. Yang pada akhirnya membuat kita tidak berada pada satu titik temu.
Ketika memutuskan datang sebagai sahabat saya, maka utuhkanlah dirimu sebagai sahabat saya. Bukan sahabat dari sahabat kamu yang lainnya. Ceritakanlah apa yang menurut kamu layak untuk saya tahu dan beritahulah apa yang memang ingin saya tahu. Jika masih terbagi, lebih baik kembali dan jangan berusaha menyusup dalam privasi saya. Dan kamu memutuskan untuk kembali sebagai sahabat dari sahabat kamu yang lain. Membiarkan otak saya mengkonstruksikan cerita kamu yang hanya sebagian dengan cara saya sendiri. Dengan kondisi setengah memaksa saya meminta diberi tahu, tapi kamu bersikukuh membiarkan saya menyelesaikan sendiri ceritanya. Kamu berkata, “silahkan”.
Ketika hasil konstruksi saya mengakibatkan beberapa orang merasa dikorbankan, kamu datang dengan niat mengklarifikasi. Namun menempatkan saya sebagai pihak yang bersalah dan kamu pahlawan untuk saya dan untuk sahabat-sahabat kamu yang lainnya. Kamu ingin menyabet dua penghargaan sekaligus. Tapi pernahkan kamu tahu, bahwa ada kalanya kata “terlambat” itu benar adanya.
Ketika keadaan semakin buram, saya memilih untuk diam. Diam untuk banyak hal. Ketika diam juga menjadi sebuah pilihan yang salah bagi kalian, coba beri saya solusi lain yang tidak hanya membuat kalian merasa baik. Tapi juga saya. Saya tidak mungkin memberi makan orang yang kelaparan sedang saya juga hampir sekarat kerana kelaparan. Saya tidak mungkin menutupi lobang yang ada di hati kalian jika hati saya juga punya lobang menganga. Karena saya juga membutuhkan jarak yang bisa saya pakai untuk menata kembali apa yang sedang berantakan sekarang. Jadi, tolong jangan meletakkan tanggung jawab untuk menjaga hati semua orang di bahu saya. Saya sama rentanya dengan kalian.
Dan hari ini, gempa susulan itu datang. Gempa yang mengiringi gempa-gempa lainnya yang juga menggempakan hati saya. Gempa itu datang dari sahabat saya yang lainnya lagi. Dia muncul dengan niat untuk manjadi penengah. Penengah perselisihan yang terjadi karena kesalahan memetakan batasan privasi. Jika ingin menjadi penengah, maka pastikanlah kamu benar-benar berada di tengah-tengah. Jika pada akhirnya kamu memutuskan untuk menepi, maka carilah tepi yang tidak menempatkan kamu pada posisi memihak.
Namun, kata tengah yang sahabat saya sandang ketika dia datang juga tidak memberikan penengahan bagi kami. Mungkin salah saya yang sudah terlanjur tidak peduli hingga Dia juga memutuskan untuk menepi. Menepi di posisi yang berlawanan dengan saya. Saya mengantar kepergiannya dengan air mata diam saya. Bukan tidak ingin mencegah kepergiannya, tapi mungkin jarak akan membuat kami sama-sama berintrospeksi diri. Karena celah akan dibutuhkan jika kita terlalu padat. Jarak juga dibutuhkan ketika kita mulai merasa di giring. Bukankah tujuan utama kita membina persahabatan ini bukan untuk menggiring atau digiring tapi untuk berjalan beriring.
Tanpa mereka sadari, mereka meletakkan saya pada posisi yang paling berhak untuk disalahi. Tidak lain alasan yang dipakai, "saya tidak mengerti, saya tidak menghargai, saya egois, saya kurang toleransi." Mungkin benar begitu adanya. Tapi mereka lupa bahwa begitu jelas perbedaan antara "pertanyaan dan pernyataan". pertanyaan membutuhkan jawaban, sedangkan pernyataan memberi jawaban.
Saya berharap tulisan ini bisa menjadi dinding bagi persahabatan lain dari virus privasi. Karena kadang mereka datang dengan tameng kasih sayang sehingga begitu sulit untuk dideteksi. Kemudian menginveksi.